Aktivitas
penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan
jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam bentangan
wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt.
Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur
sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung
Malaysia hingga Indonesia.
Di
Indonesia sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur,
Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah
selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah
barat Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada tahun
1711, di Singkep pada tahun 1812, dan di Belitung sejak 1852.
Namun,
aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung,
dan Singkep (PT Timah, 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini
telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah
pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah
terbesar di Indonesia.
Pulau
Bangka yang luasnya mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya
merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di pulau
ini dikuasai oleh PT Tambang Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah
Tbk. Mereka menguasai area KP seluas 321.577 ha.
Sedangkan
PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25 persen sahamnya dikuasai
PT Timah dan 75 persen lainnya milik Malaysia Smelting Corporation, menguasai
area KP seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain itu terdapat sejumlah smelter
swasta lain dan para penambang tradisional yang sering disebut tambang
inkonvensional ( TI ) yang menambang tersebar di darat dan laut Babel.
Permasalahan
Penambangan
timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum mampu melahirkan
kesejahteraan bagi rakyat. Padahal, cadangan timah yang ada kian menipis pula.
Tak heran, jika kemudian pertambangan timah di Bangka Belitung membawa dampak
sosial berupa masalah kemiskinan dan kecemburuan sosial di sekitar wilayah
pertambangan. Hal krusial yang memantik masalah itu muncul karena potensi timah
yang berlimpah itu belum diatur secara optimal. Sehingga pendapatan berlimpah
dari aktivitas penambangan pada akhirnya belum mampu mendukung bagi terwujudnya
kemakmuran rakyatnya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya penyelundupan
timah yang dilakukan melalui aktivitas penambangan illegal.
Pemberian
ijin tambang inkonvesional (TI) di Bangka Belitung telah mengurangi pendapatan
negara dan daerah akibat terjadinya penyeludupan, serta mengancam terkurasnya
ketersediaan cadangan timah di Bangka Belitung. Pemberian izin TI mungkin
mendukung usaha pertambangan PT Timah sebagai BUMN dan PT Kobatin, sebab kedua
perusahaan tersebut tidak perlu membuka area penambangan baru. Namun,
keberadaan TI ini pada akhirnya justru memperburuk ketersediaan logam timah di
Bangka Belitung dan membuat rusak lingkungan wilayah Bangka Belitung karena
penambangan dilakukan di semua tempat.
Mestinya,
pemerintah pusat dan daerah serta BUMN di bidang pertambangan timah berperan
lebih besar agar hasil penambangan seluruhnya masuk ke kas negara. Bila kondisi
seperti itu terwujud, jumlah produksi timah Indonesia bisa menyamai bahkan
melampaui Cina yang mencapai 130.000 ton per tahun. Berdasarkan data tahun
2007, melalui penambangan legal, Indonesia menghasilkan timah sebesar 71.610
ton per tahun. Dari penambangan ilegal, sebanyak 60.000 ton per tahun.
Solusi
Untuk
mengatasi berbagai masalah di atas, kita mengharapkan pemerintah segera
mengambil langkah-langkah dan kebijkakan yang tegas. Terutama agar pendapatan
negara dan daerah dapat meningkat, serta berbagai permasalahan di atas dapat
diatasi, diantaranya adalah
1) Mengeluarkan kebijakan sebagai pedoman
jangka panjang pengelolaan industri timah nasional, yang disusun atas dasar
prinsip-pripsip keseimbangan aspek-aspek ekonomi, ekologi, sosial, politik,
lingkungan, dan kesinambungan pasokan.
2) Mengeluarkan berbagai peraturan baru
yang lebih meningkatkan peran BUMN dan BUMD dan partisipasi rakyat daerah,
serta memudahkan pelaksanaan pengawasan, sejalan dengan ditetapkannya UU
Minerba No.4/2009 dan seluruh PP turunan dari UU tersebut.
3) Mendukung berdiri dan berperannya BUMD
milik Pemda Babel yang secara khusus mengelola dan menjalankan bisnis industri
timah untuk menjamin penerimaan dan kesejahteraan masyarakat daerah.
4) Menetapkan timah sebagai produk
strategis nasional yang dikelola secara terintegrasi dan sistematis oleh
pemerintah pusat, pemda, BUMN dan BUMD, serta didukung oleh seluruh lembaga
negara terkait.
5) Memberlakukan kuota produksi timah
(misalnya 50.000 ton/tahun), terutama untuk pengendalian harga dan proteksi
kebutuhan jangka panjang dalam negeri.
6) Mengurangi ekspor batangan timah secara
bertahap, sejalan dengan membangun pabrik tin chemical di Babel demi
peningkatan value added dan efektifitas, serta efisiensi industri, sekaligus
untuk peningkatan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat.
7) Melarang ekspor biji timah dan menghukum
berat para penambang ilegal dan penyeludup, terutama cukong-cukongnya, dan
mewajibkan seluruh smelter yang ada di Bangka Belitung untuk menjual produknya
hanya kepada PT Timah.
8) Mengumpulkan dan mengelola ”dana abadi”
(yang berasal dari sebagian pendapatan industri timah) untuk kesejahteraan
rakyat di masa mendatang dan pengembangan jangka panjang kegiatan ekonomi
masyarakat, terutama untuk mengantisipasi habisnya cadangan tambang timah.
9) Mempersiapkan langkah-langkah untuk
menguasai saham Koba Tin, yang masa kontraknya akan berakhir tahun 2011, oleh
BUMN dan BUMD.
10) Mendirikan lembaga Pasar Lelang Timah,
misalnya Jakarta Tin Market, sebagai pengalihan pusat perdagangan timah yang
selama ini berada di Kuala Lumpur, mengingat Indonesia merupakan ekportir
terbesar pertama dan produsen terbesar kedua timah dunia, yang sewajarnya juga
berperan untuk mengendalikan harga timah dunia. Hal ini perlu juga didukung
dengan kerjasama yang erat antar negara-negara produesen timah, sebagaimana
OPEC pada sektor migas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar